Minggu, 13 Juli 2008

Belajar dari Andrie Wongso!

Ahli Motivator yang menggabungkan kemampuan motivator dan filosofi Kungfu.

Berkali-kali gagal tak membuatnya frustasi. Justru ia semakin yakin dan mantap bahwa proses yang dia jalani membuatnya semakin kuat. Setelah menjadi seorang motivator andal yang dikenal dengan semboyan success is my right, apa yang masih menjadi obsesinya?

Pria motivator papan atas di Indonesia kelahiran Malang 1954 ini lahir dari keluarga miskin. Itu sebabnya, begitu berusia 11 tahun, ia tak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Kalaupun kemudian bisa bersekolah, itu lantaran ibunya diberi dispensasi berupa kelonggaran uang sekolah. Ibunya memang berjualan kue di kantin tempat ia bersekolah.

Pada saat itu, Andrie Wongso hanya bisa pasrah. Waktu luangnya ia lewatkan dengan berjualan kue, membantu ibunya, dan berlatih kungfu.
Rupanya, sang ibu iba melihat kenyataan yang harus dihadapi Andrie yang menjalani masa kecil tidak menggembirakan. Ia menginginkan perubahan nasib terjadi pada keluarganya. Namun apa daya, ketidakberdayaan ekonomi tak mampu membawa mereka masuk ke dalam kehidupan yang lebih baik.

Untuk mengetahui masa depan Andrie, sang ibu membawanya ke seorang peramal. "Hari lahirnya kurang baik, jam lahir juga tidak bagus karena lahirnya kesiangan. Shio kuda berarti seumur hidup harus bekerja keras dan tidak bisa kaya," ujar Andrie menirukan si peramal. Bagi pemuda seusia Andrie yang masih sangat muda, sedikit-banyak mentalnya akan jatuh usai mendengar ramalan nasib seperti itu. Untunglah Andrie bukan sosok pemuda seperti itu. Menapaki masa muda secara alamiah, mentalnya terbentuk pantang menyerah. "Saat kita miskin (seakan-akan) semua yang ada pada diri kita salah. Hari lahir salah, jam salah, shio salah, nama salah," tegas ayah dari Vicky, Fendi, Faldy ini. Namun baginya, semua penanda itu bukanlah penentu perjalanan hidup seseorang. Buktinya, ramalan terhadap dirinya ternyata tidak jitu.

Sayangnya, ia tak sempat bertemu dengan peramalnya itu setelah menjadi motivator andal karena si peramal sudah keburu meninggal. Andrie bukan ingin pamer. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa semua ramalan suhu itu meleset. "Nasib saya ada di tangan saya sendiri. Maju atau mundur sepenuhnya tergantung pada diri saya sendiri. Enggak ada urusan dengan shio, hari, jam lahir, nama, dan sebagainya!" tegasnya.

Mendapat nilai dari beladiri

Hingga kini, Andrie tidak pernah menyalahkan keputusan orangtua untuk tidak menyekolahkannya di tingkat lanjutan.
"Saking miskinnya, mungkin waktu itu keluarga saya punya aliran begini: udahlah, nggak usah sekolah. Namun saya punya filosofi, success is my right. Bagi saya hal itu bukan motivasi, melainkan bahasa kehidupan.

Kalau punya anak, (kalau kita) katakan terus setiap hari bahwa dirinya tak bisa maju, lihat sepuluh tahun lagi, anak itu betul-betul tak maju. Tapi kalau sebaliknya yang diucapkan 'Kamu pasti bisa', dia pun pasti bisa. Anak itu ibarat bibit, ia akan tumbuh. Setelah saya jadi motivator, baru saya tahu, itulah hukum kekuatan bawah sadar."

Belakangan Andrie baru tahu, apa yang ia jalani selama ini ada teorinya. Namanya Neuro Language Program (NLP). "Berarti saya sudah lama menjadi bagian dari NLP. Kalau kita mengerti kehidupan dengan baik dan benar, maka semua bisa diteorikan menjadi sebuah ilmu. Namanya bisa macam-macam. NLP, visibility thinking, dan sebagainya."

Menurut bapak tiga anak ini, kalau cara hidup orang sudah benar, maka kumpulan ilmu sudah digenggamnya, karena ilmu-ilmu di atas ada di dalam kehidupan. Jadi, kalau ada orang bilang itu keajaiban, ia tak setuju. "Saya berjuang mati-matian kok, sukses tidak datang begitu saja. Stephen Covey pernah bilang, jangan mengharapkan keajaiban. Itu betul, kesuksesan bukan pemberian. Sebelas tahun saya mengisi hari-hari saya dengan berjualan, berlatih bulutangkis, dan kungfu. Dari kegiatan itu saya mendapat nilai-nilai tentang sikap-sikap hidup dari banyak orang, entah guru saya maupun orang-orang yang saya temui," ungkapnya.

Latihan beladiri memberinya kekuatan mental. Ternyata, lanjut Andrie, "Bela diri melahirkan kreativitas, keberanian, keuletan, keyakinan, dan kepercayaan diri. Itu semua berkaitan dengan pikiran bawah sadar. Bukan hanya gerakannya tetapi juga filosofi yang terkandung di dalamnya. Ketika belajar kungfu saat kecil, di otak saya sudah ada pikiran jadi bintang film. Saya meyakini untuk jadi bintang film harus rajin, maka saya bolak-balik ke guru," ceritanya. Bahkan ia punya keinginan setelah dewasa ia harus bisa membuka perguruan sendiri. Cita-citanya itu ternyata tercapai juga. Andrie mendirikan perguruan beladiri Hap Kun Do. Aliran beladiri ini mengutamakan kekuatan, kecepatan, dan fleksibilitas.

Tak setuju sikap tawakal

Dua puluh tahun silam, selain sebagai pelatih bela diri, Andrie mengisi waktu dengan bekerja sebagai pelayan toko, jadi figuran film, dan hidup sederhana di tempat indekos di Jakarta Pusat. Sejak awal sikap hidupnya sudah luar biasa tangguh. Ia juga disiplin, tegas, dan pantang menyerah. "Walau dalam keadaan miskin, saya punya modal. Saya punya budaya keberanian. Inilah ilmu hidup. Budaya keberanian harus dipupuk sejak kecil."

Diawali dengan kesadaran bahwa berada di tengah badai, manusia "terpaksa" berjuang. Dalam perjuangan itu, manusia meronta, berontak. Di dalam proses ini manusia akan menemukan solusi apa yang harus dilakukannya. "Ini yang saya sebut dalam kondisi sadar. Dulu saya miskin, saya mau belajar tentang hidup karena hidup ini sebenarnya bisa diteorikan. Rajin bisa sukses, malas gagal. Melalui teori kita bisa bangkit, dan mencari cara-cara untuk mencapainya. Baru setelah itu ilmu manajemen mulai masuk."

Andrie tak setuju pada nasihat yang selama ini ditawarkan bahwa kemiskinan harus dihadapi dengan tawakal. "Kita terus dibombardir bahwa kita harus tawakal. Solusi seperti ini tidak cocok bagi pemalas. Dasar manusianya malas, kok malah disuruh tawakal, ya enggak pernah berbuat apa-apa dong. Padahal, nasib bisa diubah. Seratus persen nasib ada di tangan kita. Kita punya hak untuk mengubahnya karena sudah dikaruniai ilmu-ilmu untuk mencapainya."

Andrie juga mencontohkan tudingan gagalnya Indonesia sebagai bangsa selalu dikaitkan dengan penjajahan selama 350 tahun oleh Belanda. Pendapat ini menurutnya salah, karena hal itu sudah lewat. "Masalah hari ini harus diselesaikan dengan kerja keras. Jangan ungkit-ungkit lagi yang sudah lewat."

Sebuah bangsa maupun manusia yang tanpa gejolak dan gangguan di depannya tidak mungkin matang. "Artinya, dalam kehidupan kita harus menghadapi kesulitan-kesulitan. Saya bersyukur dulu saya mengalami kemiskinan yang lumayan panjang. Setelah dihadapi dengan gagah berani dan tangguh, secara konsisten melahirkan suatu kristalisasi tentang hidup. Ketika menemui (yang kata orang) kegagalan, bagi saya itu bukan kegagalan, melainkan proses," tegas pria yang pernah jadi salesman sabun dan pelayan toko di Pasar Kenari, Jakarta, ini.

Salah satu kegagalan yang pernah dihadapi Andrie adalah ketika cita-citanya menjadi bintang film laga di Hongkong kandas. Tahun 1980 ia memang berhasil ke Hongkong berkat tawaran Eterna Film yang mengontraknya tiga tahun. Hanya saja ia belum pernah jadi bintang utama. Sepulang ke Indonesia ia berharap dipanggil kembali.

Tiga bulan menunggu kepastian, tak ada kabar. Sementara uang tabungan mulai menipis. "Saat itu harapan saya untuk menjadi bintang film di Hongkong memang tinggi. (Namun) ketika datang kabar bahwa saya tidak diterima, saya tidak down. Mental saya tidak jatuh. Baru saya tahu bahwa kekuatan bawah sadar sayalah yang menentukan. Saya yakin saya bisa sukses, hanya saja saat itu belum menemukan 'lahan' yang cocok," kenang Andrie.

Belajar dari cerita Tiongkok

Dalam membangkitkan motivasi, entah dalam bentuk buku, CD, maupun seminar, Andrie Wongso tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita Tiongkok sebagai ilustrasinya. Menurut dia, cerita-cerita Tiongkok banyak sekali memuat budi pekerti. "Kenapa tidak kita ambil dan mengupasnya untuk keperluan motivasi?"
Andrie juga mengajak agar kita mau belajar dari ras Mongoloid. "Jepang dibom dan hancur, kok bangkit? Korea perang saudara dan hancur-hancuran, kok mereka sama-sama bisa bangun? Kenapa Vietnam bisa maju? Setelah saya analisis, mereka punya radikalisme tentang cinta negara dan patriotisme untuk membangun negara," papar suami Haryanti Lenny ini.

Kalau dalam ilmu perang, prinsip kill or to be killed berlaku, sebetulnya filosofi survival zaman kehidupan Sun Tzu dulu pun masih relevan hingga kini. Tentu saja relevansinya bukan pada membunuh orang lain. Peperangan sesungguhnya terjadi di dalam diri kita, melawan kemiskinan mental yang membelenggu kita.

Kemiskinan mental itu kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi kebiasaan-kebiasaan negatif yang sifatnya menghambat kemajuan. Misalnya pesimis, berprasangka buruk, suka menyalahkan pihak lain, dan iri pada keberhasilan orang lain. Mental miskin juga ditunjukkan dari perilaku yang tidak disiplin, tidak punya kepercayaan diri, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punya visi ke depan. "Semua orang harus mengalahkan kemiskinan mental, berjuang menuju kekayaan mental seperti pantang berputus asa, berkemauan untuk selalu belajar, dan memiliki visi ke depan. Jika kita semua memiliki kekayaan mental, pasti akan survive dalam kehidupan yang makin kompetitif!"

Melalui perjalanan panjang dari pengalaman hidupnya, ia akhirnya menemukan moto succes is my right. Sukses di matanya merupakan hak setiap orang, karena sebetulnya manusia adalah majikan bagi dirinya sendiri. Jangan pernah memberi kesempatan untuk down karena itu hanya perasaan. Harus segera disadari, lalu bangkit lagi. Seseorang dapat memilih mau bangkit atau mengikuti arah kegagalan.

"Segala sesuatu tidak ada yang lancar. Kalau gagal, sifatnya hanya sementara. Seperti naik-turunnya jalanan. Nikmati saja, karena itulah kehidupan,".

Tidak ada komentar: